Senin, 18 Juni 2012

Industri Menunggu Kebijakan Presiden


JAKARTA, KOMPAS Kalangan industri masih menunggu kebijakan Presiden untuk membantu menyelesaikan persoalan harga gas industri. Apabila campur tangan pemerintah lemah, industri dikhawatirkan akan kalah dalam persaingan.

Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Franky Sibarani di Jakarta, Senin (18/6), mengatakan, "Hingga kini, kami masih menunggu kebijakan Presiden. Campur tangan Presiden diperlukan, atau setidaknya lintas kementerian sebagai pembantu Presiden niampu menyelesaikan masalah ini sebelum sampai berlarut-larut."

Surat resmi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dilayangkan tertanggal 5 Juni 2012. Kalangan industri keberatan atas kenaikan harga gas industri sebesar 55 persen sehingga mengusulkan kenaikan dilakukan secara bertahap.

Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam pesan singkatnya menegaskan, "Hari Selasa (ini) saya akan bertemu dengan Menteri ESDM. Sehari sesudahnya, saya pastikan untuk bertemu dengan pengusaha pengguna gas."

Penolakan

Penolakan kalangan industri pengguna gas sehubungan dengan keputusan kenaikan harga gas industri berdasarkan surat dari PT Perusahaan Gas Negara perihal penyesuaian harga gas sebesar 55 persen.

Franky mengatakan, "Kenaikan itu diberlakukan tiba-tiba pada bulan Mei 2012. Penggunaan gas berpengaruh terhadap 20-30 persen dari biaya produksi anggota kami."

Menurut Franky, dalam surat kepada Presiden juga disebutkan, kontrak jangka panjang dengan pihak pembeli tidak memungkinkan untuk diperhitungkan kembali. Di tengah kondisi pasar ekspor yang sedang lesu, kenaikan harga gas ini akan menambah beban industri sehingga menurunkan daya saing.

Selain itu, Presiden juga diinformasikan bahwa saat ini terdapat 405 pabrik yang menggunakan gas. Pabrik ini terbagi dalam 27 industri dan tersebar di 16 provinsi. Sayangnya, semua pabrik kekurangan suplai gas. Karena itu, Presiden didorong mempertimbangkan penghentian ekspor gas dan memprioritaskan alokasi gas untuk kepentingan nasional.

Ernovian G Ismy, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengatakan, kekalahan daya saing akan dirasakan oleh industri tekstil mengingat harga jual produk impor jauh lebih kompetitif.

"Kalau tak tahan, industri tekstil dengan mudah akan merumahkan, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Kalau satu set mesin tekstil terdiri dari 150 orang tidak mendapatkan pasokan gas, 150 pekerja itu di PHK," ujar Ernovian. ( Sumber : http://www.kemenperin.go.id/artikel/3610/Industri-Menunggu-Kebijakan-Presiden )


Tidak ada komentar: