Minggu, 01 Juli 2012

Pengusaha Sawit Nasional Sulit Ekspansi


JAKARTA (Suara Karya): Industri kelapa sawit nasional saat ini mengalami kesulitan untuk ekspansi bisnis, salah satunya memperluas lahan perkebunan.

Penyebab utamanya, selain kebijakan moratorium penggunaan lahan hutan alam dan lahan gambut, lahan sawit di Indonesia ternyata juga sudah dikuasai pengusaha asal Malaysia dan negara lainnya secara signifikan.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) M Fadhil Hasan mengatakan, kepemilikan luas lahan yang terbatas membuat industri sawit nasional sulit mengalahkan industri asal Malaysia. Apalagi, Pemerintah Malaysia memang mendukung penuh investasi di sektor industri sawit dari hulu ke hilir.

"Kita tidak bisa mengembangkan industri tanpa ada perluasan area perkebunan. Industri kelapa sawit Malaysia lebih berkembang karena konsistensi kebijakan dari pemerintahnya. Mereka lebih awal mengembangkan karena memiliki kebijakan yang lebih baik. Komitmen pemerintahnya juga kuat dan iklim investasinya kondusif," katanya pada acara Family Gathering Forum Wartawan Industri di Bandung, Sabtu (30/6).

Fadhil Hasan lantas mencontohkan kebijakan bea keluar (BK) untuk ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Dalam hal ini, Gapki berharap pemerintah mengkaji kembali pengenaan BK untuk ekspor CPO dan produk turunannya. Hal ini dikarenakan pemberlakuan BK ekspor CPO dan produk turunannya tidak berjalan efektif.

"Pengenaan BK untuk ekspor produk hilir sawit sebaiknya nol persen, sedangkan untuk CPO cukup 5 persen. Pengenaan bea keluar ekspor CPO bukan untuk mendorong tumbuhnya industri hilir sawit. Jadi, kebijakan bea keluar ini memang perlu disempurnakan," tuturnya.

Menurut Fadhil, penerapan BK ekspor CPO yang maksimal bisa mencapai 25 persen justru berpotensi mendorong penyelundupan. Apalagi, aparat di pelabuhan sulit memeriksa serta membedakan antara CPO dan produk turunannya.

Sementara itu, Kepala Kompartemen Komunikasi Gapki Tofan Mahdi mengatakan, dari 7,5 juta hektare lahan sawit di Indonesia, sekitar 20 persen dikuasai oleh perusahaan asal Malaysia. Apalagi terkait dengan peraturan investasi, pemerintah memang tidak bisa melarang perusahaan Malaysia untuk mengembangkan usaha kelapa sawit di Indonesia.

Terkait pengenaan BK ekspor CPO, Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam mengatakan, pengenaan instrumen semacam pajak ekspor untuk produk CPO berdampak pada industri hilir di luar negeri, termasuk di Malaysia.

Meski sebagai produsen CPO, Malaysia masih mengimpornya dari Indonesia untuk diolah. Sejak pemberlakuan kebijakan BK maksimal 25 persen, kapasitas industri hilir sawit Malaysia menurun hingga 50 persen.

"Malaysia membutuhkan bahan baku dari Indonesia. Sejak pemberlakuan BK, pasokan ke sana berkurang, utilisasi produksinya anjlok menjadi 50 persen. Artinya, pemberlakuan BK memang ampuh," katanya. ( Sumber : http://www.kemenperin.go.id/artikel/3702/Pengusaha-Sawit-Nasional-Sulit-Ekspansi )

Tidak ada komentar: